HALUANRIAU.CO (PEKANBARU)-Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Riau Mia Amiati mengapresiasi kinerja Kejaksaan Negeri (Kejari) Bengkalis. Hal itu seiring dengan kebijakan Korps Adhyaksa Bengkalis itu dalam penegakan hukum pada tidak pidana korupsi (tipikor) yang ditanya.
“Saya selaku Kepala Kejaksaan Tinggi Riau sangat mengapresiasi kinerja Kajari Bengkalis beserta jajarannya yang telah melaksanakan penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi dengan melakukan penahanan terhadap tersangka,” ujar Mia Amiati, Selasa (21/1).
Adapun perkara rasuah yang dimaksud adalah Penyimpangan Dana UED-SP Tri Bukit Batu Laksemana Tahun 2015-2018 Desa Bukit Batu Kecamatan Bukit Batu, Bengkalis. Ada tiga orang tersangka dalam perkara itu, yakni AW selaku Ketua UED-SP, SB selaku Tata Usaha di sana, dan JF yang merupakan Kepala Desa Bukit Batu.
Ketiga tersangka telah dilakukan penahanan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Bengkalis. Teranyar, penahanan dilakukan terhadap JF, yaitu pada Senin (20/1) kemarin.
Mencermati kasus tersebut, Kajati berpendapat bahwa pada umumnya tindak pidana korupsi yang terjadi akhir-akhir ini merupakan suatu fenomena kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama, yang menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan nasional.
“Sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan dengan menerapkan berbagai peraturan yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga dapat melahirkan pertanggungjawaban pidana yang adil dan berkepastian hukum,” sebut wanita pertama yang memimpin Korps Adhyaksa Riau itu.
Masih menurut dia, tindak pidana korupsi bukan hanya masalah hukum tetapi telah menjadi persoalan ekonomi, budaya dan politik. Dengan perkataan lain, sebut dia, bahwa korupsi sudah terjadi dan dilakukan dalam berbagai dimensi pelaku dan lingkup antar negara.
Meningkatnya tindak pidana korupsi, lanjut Kajati, sejak orde lama, orde baru dan orde reformasi yang melahirkan pengelolaan anggaran yang desentralisasi.
“Apabila tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya, tetapi dapat menimbulkan berbagai kelemahan kehidupan generasi yang akan datang,” terang dia.
“Seperti, kolusi anggaran antara legislatif dengan eksekutif demi persetujuan dan pencairan anggaran untuk memperoleh komisi, kemudian kolusi antara penegak hukum dengan eksekutif agar proyek mark up tidak diungkap dengan membagi saham proyek,” sambung mantan Wakajati Riau itu.
Untuk itu, dia mengimbau kepada para Kajari beserta jajarannya untuk dapat bersikap lebih peka lagi terhadap kemungkinan-kemungkinan adanya dugaan perbuatan melawan hukum yang memenuhi unsur tindak pidana korupsi yang akan mengakibatkan timbulnya kerugian keuangan negara
“Sudah waktunya kita memberantas korupsi. Kalau bukan kita, siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi,” pungkas Kajati Riau Mia Amiati.
Diketahui, perkara tersebut terjadi tahun 2015-2018. Ketiga tersangka diduga melakukan rasuah dengan menggunakan dana UED-SP di luar prosedur yang ditetapkan untuk memperkaya diri sendiri sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp1 miliar lebih.
Adapun modus yang digunakan para tersangka, yakni meminjam dan menggunakan KTP dan syarat lainnya milik orang lain untuk pengajuan kredit. Namun orang tersebut tidak menikmati pinjaman tersebut.
Masing-masing tersangka punya peran yang berbeda dan mendapatkan uang pinjaman tersebut dengan nilai yang berbeda pula. Yaitu, AW selaku Ketua UED-SP mendapatkan Rp400 juta lebih, SB mendapatkan Rp300 juta lebih, dan JF mendapatkan Rp100 juta lebih.
Pada awalnya ketiga tersangka mengangsur pinjaman tersebut. Belakangan, hal itu tidak lagi dilakukan sehingga mengakibatkan terjadinya kredit macet sebesar Rp1.054.514.000.(rls)
Penulis : Dodi Ferdian